Oleh ;Riky Handriska

Tanjab Timur, 17/05/25 – Di sudut Timur Jambi, ketika malam mulai merangkak tanpa lampu kota dan hanya disambut temaram bulan di langit Air Hitam, Gubernur Al Haris menepati janji yang tak sekadar retorika tidur di dusun, menyatu dengan denyut nadi rakyat. Program Partisun “Pejabat Tidur di Dusun” bukan sekadar simbol, melainkan ikhtiar sunyi seorang pemimpin untuk kembali pada akar, mendengar tanpa podium, melihat tanpa tirai protokoler.

 

perjalanan menuju Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, bukan perjalanan biasa. Jalan yang berlumpur, licin, dan tak berbelas kasih telah lama menjadi saksi bisu ketabahan masyarakat pedalaman. Di sanalah Al Haris, Gubernur yang sedang duduk di kursi kiri samping sang sopir sontak bergegas turun dari mobil, tak hanya sekali, untuk mendorong kendaraan yang terperangkap lumpur. Tak sedikit pula kendaraan warga yang ia bantu, serta setiap dusun yang terlewati ada wajah harap dan bangga menyapa Al Haris Gubernur jambi. Seolah tubuhnya tak hanya membawa otoritas, tapi juga empati yang tulus dan nyata.

Baca Juga:  Berebut Nahkoda Perahu PAN: Pertarungan 'Sulpani vs Zilawati'

Setibanya di Air Hitam, para warga baik tua maupun muda bahkan anak anak pun sangat histeris menyambut Al Haris Gubernur Jambi dengan semangat dan bangga serta terpancarkan jelas dari raut wajah masyarakat yang penuh harap dan yakin bahwa dengan kedatangan Al Haris akan memusnahkan duka menjadi bahagia.

Dalam balutan kain batik dan suara yang tak digemakan pengeras suara, Al Haris berdialog langsung dengan masyarakat. Permintaan demi permintaan dicatat dengan telinga terbuka, bukan oleh ajudan, melainkan oleh dirinya sendiri. Ia mendengarkan, bukan untuk menjawab, tapi untuk mengerti karena Permintaan Masyarakat tersebut langsung akan Al Haris realisasi tanpa jawaban yang berbentuk janji Namun Terbukti.

Baca Juga:  Paduka Berhala yang Terkoyak: Romi, Deklarasi, dan sinyal yang salah

Di siang yang lengas, ia memanen melon bersama petani lokal, menyentuh langsung hasil jerih payah rakyat. Kemudian, ia turun ke sawah, menanam padi dengan kedua tangannya, di atas tanah yang kelak diharapkan menjadi sentra swasembada pangan Jambi. Ini bukan sekadar simbol, tetapi pesan bahwa pangan bukan hanya urusan statistik dan kebijakan, tetapi juga lumpur di kaki dan peluh di dahi.

Ia menyebut langkah ini sebagai bentuk dukungan penuh terhadap program besar Presiden Prabowo dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Namun lebih dari itu, ini adalah cara Al Haris menyentuh tanah secara harfiah dan batiniah tanah yang ia pimpin, tanah yang ia janjikan untuk sejahtera

Baca Juga:  Dibalik Laza " Ada Cahaya", Pesona Kecerdasan Perempuan Anggun Berdarah Sulawesi

Partisun di Air Hitam bukan sekadar perjalanan kerja. Partisun adalah puisi perjalanan seorang pemimpin yang menanggalkan sepatu kuasa dan merasakan duri di kaki rakyatnya. Dalam sunyi dusun itu, suara hati lebih lantang terdengar. Dan Al Haris telah memilih untuk mendengarnya.

Menjelang akhir kunjungan, Al Haris menyeberangi laut menuju Pulau Berhala, sebuah titik ziarah yang sakral di perbatasan negeri. Di sana, di antara batu karang dan desir angin laut, ia memimpin doa untuk rakyatnya,serta untuk negeri sepucuk Jambi sembilan lurah. mungkin juga untuk dirinya sendiri agar kuat menjaga amanah.