Oleh: [Riky Handriska]
“Kerja itu seperti napas. Tak terlihat, tapi menghidupkan.”
Tudingan bahwa 100 hari Gubernur Jambi Al Haris tak membuahkan kerja, mungkin lahir dari satu hal sederhana: keheningan. Sebab, di era ini, yang tak terdengar di linimasa dianggap tak terjadi. Yang tak diunggah, disangka tak pernah ada.
Namun, sejarah pemerintahan yang sejati justru dibangun di balik layar. Di ruang-ruang sunyi yang jauh dari sorotan kamera, tapi penuh dengan keputusan-keputusan penting untuk arah Jambi ke depan.
Bekerja Tanpa Gegap Gempita
Al Haris tak memilih panggung sorotan. Ia memilih jalan panjang nan sepi: merajut ulang tata kelola, menata birokrasi yang kusut, membuka pintu-pintu pelayanan yang sebelumnya tertutup rapat. Dalam 100 hari, ia bukan sedang mencari pujian, tapi menyiapkan fondasi.
Saat masyarakat sibuk menggulir layar, Al Haris menggulirkan reformasi: mendekatkan pelayanan kesehatan, menghidupkan kembali bahasa Melayu Jambi yang mulai tenggelam, hingga turun langsung ke pelosok dalam program subuh keliling tradisi yang bukan hanya religius, tapi menyentuh sendi sosial yang paling bawah. Di tambah dengan kegiatan rutin Per bulan Yaitu Partisun Pejabat Tidur dusun .
Di Mana “Tidak Bekerjanya”?
Mereka yang berkata “tidak bekerja” barangkali lupa, bahwa kerja bukan hanya tumpukan peresmian, bukan pula parade janji manis. Kerja adalah keputusan untuk tidak sekadar tampil, tapi hadir. Tidak sekadar mendengar, tapi mendampingi.
Dalam senyapnya kamera, Gubernur Jambi mendampingi buruh dan pekerja dalam peluncuran program jaminan sosial ketenagakerjaan. Dalam dinginnya Subuh, ia mendekap nurani rakyat yang tak pernah diminta jadi penonton, tapi diajak ikut berjalan.
Politik Sunyi vs Politik Sorak
Politik hari ini dipenuhi orkestra sorak. Pemimpin yang setiap detiknya dihitung dari seberapa viral dia di TikTok, bukan dari seberapa nyata hasilnya di lapangan. Al Haris melawan arus itu. Ia percaya, sejarah tak dibangun dari popularitas, tapi dari keberanian berjalan—meski sendirian, asal untuk rakyat.
Ia tidak membanggakan diri sebagai tokoh nasional. Tapi Jambi mengenalnya sebagai pemimpin yang pulang ke dusun, menyapa yang tak punya suara, dan mengangkat yang selama ini tertinggal.
“Tidak semua yang tenang itu diam. Tidak semua yang tak dilihat, tidak bekerja. Al Haris barangkali bukan pemimpin yang ramai tapi ia sedang merapikan yang sempat ditinggalkan ramai-ramai.”
Waktu akan menilai. Tapi sejarah akan mencatat, bahwa di 100 hari pertamanya, Al Haris memilih bekerja daripada berbicara. Dan barangkali, itulah bentuk keberanian paling langka dalam politik hari ini: diam-diam membangun.
Tinggalkan Balasan