Oleh : (Riky Handriska)

Jakarta — Malam ini, negeri berselimut gema takbir. Dari menara masjid hingga gang-gang kecil, suara lantang “Allahu Akbar” mengalun syahdu, menyambut hari suci Iduladha. Namun di tengah alunan doa dan haru, ada satu lagi gema yang menggetarkan tanah air. Yaitu, pertandingan Indonesia melawan China dalam putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia.

Di tengah malam takbiran yang khusyuk, 11 putra terbaik bangsa bersiap menorehkan sejarah. Mereka bukan membawa pisau kurban, melainkan sepatu berlumpur, tekad baja, dan semangat ribuan tahun yang mengalir dari nenek moyang para pejuang. Sebab malam ini, di tengah gema doa pengorbanan, Indonesia menantang raksasa Asia.

China, dengan segala keperkasaannya, hadir sebagai tim unggulan. Mereka datang membawa prestise, dana besar, pemain naturalisasi, dan cita-cita tinggi menembus panggung dunia. Tapi Indonesia datang dengan sesuatu yang lebih purba dan lebih murni keberanian.

Baca Juga:  Berebut Nahkoda Perahu PAN Tanjabtim: 'Posisi Ketua DPRD Digoyang'

Pelatih Patrick Kluivert , dalam senyapnya malam takbir, tahu betul bahwa ini bukan sekadar laga. Ini tentang harga diri bangsa. Tentang mengangkat kepala tinggi-tinggi di hadapan negara yang telah berkali-kali memandang remeh kekuatan sepak bola Asia Tenggara.

Di ruang ganti, mungkin para pemain sempat mendengar takbir dari luar stadion. Mungkin ada di antara mereka yang terdiam sejenak, membayangkan kampung halaman, keluarga yang sedang menyiapkan kurban, dan doa ibu dari jauh. Dan mungkin itulah bahan bakar sesungguhnya malam ini cinta yang tulus, doa yang diam-diam, dan pengorbanan yang nyata.

Karena malam ini, dua kekuatan menyatu: semangat sepak bola dan semangat pengorbanan. Malam ini, Garuda bukan hanya bertanding demi tiket ke Piala Dunia, tapi juga demi rasa hormat, demi menunjukkan bahwa kita tak gentar melawan siapa pun, bahkan saat mereka datang dengan segala kemewahan dan peringkat.

Baca Juga:  Kembali Ke Balai ; Kesempatan Terakhir Romi Harianto

Dan bila esok pagi Indonesia menang, maka takbir akan menggema lebih nyaring. Sajadah akan dibentangkan bukan hanya untuk sujud syukur atas hari raya, tapi juga atas kejayaan sepak bola bangsa yang perlahan namun pasti, bangkit dari tidur panjangnya.

Namun jika kalah, malam ini tetap sakral. Sebab keberanian untuk melawan, untuk berharap, dan untuk bertarung di hari besar, adalah bentuk tertinggi dari pengorbanan. Seperti kisah Nabi Ibrahim yang bersedia menyerahkan yang paling dicintainya, malam ini Indonesia menyerahkan seluruh hati di atas lapangan hijau.

Takbir dan tendangan. Doa dan darah. Sepak bola dan pengorbanan. Semua berpadu di malam ini.

Selamat bertanding, Garuda.
Dan selamat menyambut Iduladha untuk seluruh rakyat Indonesia.

Baca Juga:  Paduka Berhala yang Terkoyak: Romi, Deklarasi, dan sinyal yang salah