Oleh: Riky Handriska
Di tengah derap perjuangan Gubernur Jambi Al Haris yang tanpa lelah menyambangi kantor-kantor kementerian di Jakarta, memperjuangkan anggaran dan program strategis daerah, justru sinyal penolakan datang dari tempat yang tak disangka: rumah wakil rakyat sendiri.
Sumber internal dan dokumen anggaran yang telah disahkan pada tahun berjalan mengungkap bahwa setidaknya Rp 1 triliun anggaran Pemprov Jambi dipangkas atau tertunda, akibat ketiadaan pembahasan resmi oleh DPRD Provinsi Jambi terkait APBD Perubahan.
Yang lebih menyakitkan, bukan hanya pemangkasan itu yang jadi masalah melainkan sikap diam, menunda, bahkan membungkam jalannya pemerintahan secara halus. Rapat-rapat penting tak kunjung digelar. Agenda perubahan yang menyangkut hajat hidup rakyat tak masuk prioritas pembahasan.
Gubernur tak bisa bekerja sendiri. Tapi justru saat ia melangkah cepat, para wakil rakyat seolah menarik rem darurat.
Apakah ini soal teknis anggaran? Atau ada alasan yang lebih dalam: permainan kepentingan dan politik pokir (pokok pikiran) yang selama ini jadi “hak istimewa” sebagian anggota dewan?
KPK sendiri melalui Wakil Ketua Johanis Tanak dalam rapat koordinasi nasional pernah menyampaikan:
“Banyak korupsi terjadi justru dari relasi eksekutif dan legislatif dalam menentukan proyek. Pokir adalah pintu masuk.”
Ucapan itu bukan basa-basi. Jika pokir adalah gerbang, maka siapa penjaganya?
Di luar, masyarakat menunggu jalan diperbaiki, bantuan cair, proyek padat karya dimulai. Tapi di dalam, meja-meja pembahasan kosong dari naskah perubahan anggaran. DPRD memilih bungkam.
Anggaran ini bukan milik partai. Bukan milik fraksi. Bukan milik kelompok elite. Ini adalah anggaran milik rakyat.
Dan jika pembangunan tertahan, maka rakyat berhak menuntut DPRD provinsi Jambi serta mempertanyakan dan mencari tau siapa dalang yang menahan perjuangan gubernur untuk rakyat jambi.
✍️ Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah refleksi kritis terhadap kondisi demokrasi lokal di Provinsi Jambi. Kami percaya bahwa pemerintahan yang sehat lahir dari sinergi, bukan sabotase. Rakyat berhak menilai siapa yang bekerja, dan siapa yang justru menjadi beban.
Tinggalkan Balasan