inijambi.com, Tanjabtim – Tanjung Jabung Timur tengah dihadapkan pada situasi politik yang semakin memanas menjelang Pilkada 2024. Salah satu fenomena yang mengundang perhatian publik dan memicu spekulasi adalah kebiasaan Penjabat (Plt) Bupati H. Robby yang kerap mengumpulkan ponsel peserta rapat sebelum dimulai. Praktik ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah suasana politik yang semakin kental.
H. Robby tidak hanya berperan sebagai Pjs Bupati, tetapi juga Ketua Partai NasDem di Tanjab Timur serta Ketua Koalisi Partai pendukung pasangan Dillah-MT. Perannya yang ganda sebagai pejabat pemerintah sementara dan tokoh partai politik ini memunculkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dalam proses Pilkada. Pengumpulan ponsel sebelum rapat dinilai oleh banyak pihak sebagai upaya untuk menjaga kerahasiaan agenda tertentu yang bisa terkait dengan strategi politik tim Dillah-MT.
Namun, dalam konteks teori politik, peran H. Robby sebagai Plt Bupati di Pilkada kali ini dapat dikaitkan dengan fenomena lame duck. Teori lame duck merujuk pada situasi di mana seorang pemimpin atau pejabat yang mendekati akhir masa jabatannya atau yang berada di posisi sementara, seperti Plt Bupati, cenderung kehilangan otoritas dan pengaruh. Meskipun secara formal ia memegang kendali atas pemerintahan, kekuatannya seringkali hanya terlihat di permukaan.
Dalam kasus H. Robby, meskipun ia berada di posisi strategis sebagai Plt Bupati dan memiliki kekuasaan sementara di pemerintah daerah, banyak yang meyakini bahwa pengaruhnya tidak akan kuat dan maksimal. Orang-orang mungkin menunjukkan kepatuhan saat berada di depannya, terutama dalam pertemuan resmi, tetapi di balik layar, arahannya dalam ranah politik diperkirakan tidak akan banyak diindahkan. Posisinya yang sementara dan lebih dekat dengan partai politik dibandingkan kepentingan pemerintah daerah bisa membuat orang-orang di birokrasi lokal dan masyarakat cenderung mengabaikan pengaruhnya setelah rapat selesai.
Sejumlah pengamat politik juga menekankan bahwa Plt seperti H. Robby, meskipun memiliki akses langsung ke kekuasaan, sering kali tidak memiliki legitimasi penuh dari kalangan birokrasi maupun masyarakat lokal. Mereka hanya menghormati otoritasnya di depan umum karena status formalnya, namun di belakang layar, loyalitas birokrasi dan kekuatan politik lebih cenderung mengalir kepada aktor politik yang memiliki masa depan yang lebih pasti atau kepada calon yang memiliki peluang kemenangan lebih besar, seperti kandidat dalam Pilkada.
“Peran H. Robby sebagai Plt Bupati memiliki keterbatasan alami, karena meskipun ia memimpin sementara, orang cenderung meresponsnya secara normatif saja. Ini adalah tipikal lame duck, di mana instruksi yang diberikan hanya diikuti secara simbolik, tetapi tidak mempengaruhi tindakan dan keputusan politik sesungguhnya,” kata seorang pengamat politik lokal.
Dalam konteks ini, posisi H. Robby sebagai Plt Bupati mungkin lebih dilihat sebagai pengisi kekosongan sementara hingga hasil Pilkada memunculkan pemimpin definitif. Meski ia memegang jabatan resmi, pengaruh dan efektivitasnya dalam menentukan arah politik Tanjab Timur kemungkinan besar terbatas, terutama ketika banyak tokoh politik dan masyarakat lebih fokus pada kontestasi Pilkada yang tengah berlangsung. Pengaruh politik H. Robby yang berasal dari jabatannya di NasDem dan sebagai Ketua Koalisi Partai Dillah-MT mungkin tidak cukup untuk memperkuat posisinya di dalam pemerintahan.
Dengan demikian, fenomena pengumpulan ponsel sebelum rapat dan posisi H. Robby yang terkait erat dengan pasangan Dillah-MT ini, justru dapat dipandang sebagai upaya untuk menjaga ilusi kendali di tengah posisi yang sebenarnya semakin lemah dan tergerus oleh dinamika politik yang lebih besar. Seiring berjalannya waktu, fenomena lame duck ini dapat membuat peran H. Robby dalam Pilkada Tanjab Timur semakin tak berarti di balik layar, ketika semua aktor politik lokal sudah menetapkan arah mereka sendiri menjelang puncak kontestasi Pilkada.(Red)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari.