Inijambi.com – Polemik penamaan gedung dengan kata “Berkah”, yang dibangun melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari PetroChina, kembali menyadarkan kita bahwa simbol-simbol publik masih rawan ditarik dalam pusaran kepentingan politik. Kata “Berkah” bukan hanya sekadar istilah religius, tetapi secara jelas merupakan slogan kampanye politik. Maka, ketika gedung publik diberi nama demikian, wajar jika publik menilai langkah ini sebagai bentuk pencitraan yang tidak dewasa, bahkan cenderung kekanak-kanakan.
Perlu diingat, gedung tersebut dibangun dari dana CSR, bukan dari anggaran pribadi pejabat atau dana politik. CSR adalah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. CSR digunakan untuk membangun infrastruktur publik, meningkatkan layanan pendidikan, kesehatan, pelestarian lingkungan, hingga pemberdayaan masyarakat. Artinya, dana ini adalah milik bersama, yang seharusnya dikelola dan diwujudkan dalam bentuk fasilitas yang bebas dari kepentingan pribadi atau politik.
Menyematkan nama kampanye pada gedung publik yang dibiayai CSR sama saja dengan menyalahgunakan ruang publik untuk kepentingan simbolik. Tindakan ini tidak hanya mengaburkan makna CSR sebagai wujud kepedulian sosial, tapi juga mencederai semangat netralitas dan etika publik. Lebih dari itu, sikap seperti ini mencerminkan perilaku kekanak-kanakan dari para pengambil keputusan yang seolah belum dewasa dalam memisahkan urusan jabatan dan kepentingan rakyat.
Akan jauh lebih elegan dan terhormat jika nama gedung tersebut diambil dari tokoh-tokoh bersejarah atau pahlawan daerah yang telah berkontribusi nyata bagi masyarakat. Selain menumbuhkan rasa hormat pada sejarah dan perjuangan, penamaan seperti itu juga memperkuat identitas dan karakter lokal.
Dan Alangkah Terpujinya dana ini dialokasikan untuk mengatasi Angka kemiskinan yang masih tinggi,bahkan nomor dua seprovinsi jambi, indeks pembangunan manusia yang masih rendah, angka stunting yang masih tinggi, lapangan pekerjaan yang masih terbatas, dan masih banyak persoalan daerah lainya yang belum tuntas dalam satu periode RPJMD.
Gedung publik bukan alat promosi kekuasaan. Atau peralihan citra karena ketidak mampuan dalam membaratas segala persoalan daerah,ia juga adalah simbol pelayanan dan persatuan masyarakat. Maka, siapa pun yang berada di posisi kepemimpinan, semestinya memiliki kebesaran hati untuk tidak membubuhkan nama atau slogan kampanye pada fasilitas yang dibiayai untuk rakyat. Mengelola kekuasaan itu butuh kedewasaan, bukan sekadar mencari “berkah” dari pujian semu.
Tinggalkan Balasan