Inijambi.com – Di tengah dinamika politik anggaran yang memanas, satu potret mencolok muncul dari Provinsi Jambi: seorang gubernur yang sibuk menjemput program pusat, menjalin komunikasi intensif dengan para menteri, hingga memboyong seluruh bupati dan walikota ke Jakarta untuk memperjuangkan pembangunan. Di sisi lain, wakil rakyat di gedung DPRD justru memilih sikap diam bahkan disebut-sebut menolak membahas APBD Perubahan.
Ini bukan lagi persoalan teknis anggaran. Ini soal keberpihakan dan keberanian.
Ketika Gubernur Jambi, Al Haris, terus bergerak aktif di tingkat nasional dari audiensi dengan Menteri Sosial, Menko Perekonomian, hingga Bappenas satu hal tetap membelenggu langkah eksekutif daerah: anggaran yang tak kunjung dibahas.
Dalam isu yang mengendap itu, menguat suara publik bahwa anggaran daerah kini menjadi alat sandera politik. Program prioritas terhenti, pelayanan publik melambat, dan rakyat menjadi korban dari tarik-ulur yang tak pernah dijelaskan secara terbuka.
Tak heran jika publik mulai bertanya: siapa sebenarnya yang bekerja untuk rakyat?
Dalam Rapat Koordinasi Nasional KPK bersama kepala daerah, pernyataan Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, seperti membongkar tabir yang selama ini hanya menjadi bisik-bisik:
“Saya sampaikan di banyak tempat, justru yang banyak bermain dalam proses anggaran itu adalah oknum anggota DPRD. Mereka kadang lebih dulu ‘mengunci’ proyek, bahkan sebelum pembahasan APBD.”
Pernyataan ini menjadi semacam validasi: bahwa bukan hanya publik yang curiga, tapi juga lembaga sekelas KPK menyadari ada permainan lama yang terus berulang dan kini, menyentuh Jambi.
Al Haris tentu bukan pemimpin sempurna. Tapi fakta bahwa ia terus bergerak, menyusun diplomasi pembangunan ke pusat, membawa kepala daerahnya satu barisan, dan membuka ruang kolaborasi lintas kementerian adalah bentuk tanggung jawab yang nyata. Bukan retorika.
Namun tanggung jawab tidak bisa dibebankan kepada satu orang. Terlebih jika yang lain justru memilih berpolitik dalam diam.
APBD bukan milik fraksi. APBD adalah darah pembangunan. Menyandera anggaran berarti menyandera hak rakyat.
Maka publik berhak bertanya:
Mengapa pemimpin dipaksa berjuang sendiri, sementara mereka yang disebut wakil rakyat justru memilih bungkam dalam ruang sidang?
Dan lebih dari itu rakyat berhak menuntut, agar drama kekuasaan tidak lagi dibayar dengan kemiskinan pelayanan.
📌 Catatan Redaksi:
Artikel ini ditulis dalam semangat menjaga transparansi dan mendesak kolaborasi politik yang sehat di tingkat daerah. Kritik terhadap institusi bukan bentuk kebencian, melainkan pengingat bahwa kekuasaan bukan alat tawar, tetapi amanah yang dibayar mahal oleh rakyat.
Tinggalkan Balasan