Oleh: WAHYUNI SAPITRI S.H
OPINI – Hutan terbakar, sungai tercemar, dan udara dipenuhi asap semua ini bukan sekadar bencana alam, tetapi juga cerminan lemahnya penegakan hukum lingkungan di negeri ini. Ironisnya, berbagai regulasi sebenarnya sudah ada. Namun, hukum sering kali tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Penegakan hukum lingkungan yang lemah telah membuka jalan bagi perusakan alam yang semakin masif dan terstruktur. Bayangkan sebuah negara dengan ratusan aturan perlindungan lingkungan Inilah potret buram penegakan hukum lingkungan kita: banyak aturan, minim tindakan.
Penegakan hukum lingkungan bukan hanya soal menjaga alam, tetapi soal keadilan bagi rakyat dan generasi mendatang. Sayangnya, hukum kerap menjadi alat negosiasi, bukan pelindung kehidupan. Negara Indonesia saat ini juga mengalami permasalahan yang cukup serius mengenai pencemaran dan kerusakan lingkungan yang semakin hari semakin meningkat.
Permasalahan lingkungan hidup masih menjadi tanggung jawab besar karena akan menyangkut kualitas kehidupan yang akan datang. Eksploitasi pada sumber daya alam dan juga lingkungan hidup telah menyebabkan semakin buruknya kualitas lingkungan hidup khususnya sumber daya alam. Maraknya kerusakan alam seperti, ekosistem lautan, rusaknya sebagaian besar hutan yang menjadi paru-paru dunia, banjir yang masih terjadi dimana-mana, tanah longsor, dan tentu masih banyak lagi. Masalah lingkungan hidup merupakan masalah alami, yakni peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai bagian dari proses natural.
Proses natural ini terjadi tanpa menimbulkan akibat yang berarti bagi tata lingkungan itu sendiri dan dapat pulih kemudian secara alami (homeostasi). Akan tetapi, sekarang masalah lingkungan tidak lagi dapat dikatakan sebagai masalah yang semata-mata bersifat alami, karena manusia memberikan faktor penyebab yang sangat signifikan secara variable bagi peristiwa-peristiwa lingkungan.
Tidak bisa disangkal bahwa masalah- masalah lingkungan yang lahir dan berkembang karena faktor manusia jauh lebih besar dan rumit (complicated) dibandingkan dengan faktor alam itu sendiri. Manusia dengan berbagai dimensinya, terutama dengan faktor mobilitas pertumbuhannya, akal pikiran dengan segala perkembangan aspek- aspek kebudayaannya, dan begitu juga dengan faktor proses masa atau zaman yang mengubah karakter dan pandangan manusia, merupakan faktor yang lebih tepat dikaitkan kepada masalah-masalah lingkungan hidup. Dan masalah pengelolaan lingkungan dapat dianggap sebagai salah satu penyebab utama terjadinya bencana alam di Indonesia.
Salah satu kasus yang menarik perhatian yaitu Jebolnya Kolam Limbah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) di Koto Boyo, Batanghari Pada 15 Maret 2025, kolam limbah (settling pond) milik PT BBMM di Koto Boyo, Kabupaten Batanghari, dilansir dari berbagai sumber kronologis kasus PT.BBMM dilaporkan jebol, menyebabkan air limbah mengalir langsung ke sungai terdekat. Tim gabungan dari Polda Jambi, Kementerian ESDM, dan Dinas Lingkungan Hidup turun tangan untuk melakukan investigasi.
Mereka menemukan bahwa kolam limbah nomor 1 jebol, dan air limbahnya mengalir ke sungai. Selain itu, ditemukan lubang tambang yang belum direklamasi, menimbulkan kekhawatiran akan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar.
Pencemaran Sungai Telang akibat Tambang Emas Ilegal di Bungo Sejak 2020, aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di Dusun Sungai Telang, Kabupaten Bungo, telah merusak hutan dan mencemari sungai yang menjadi sumber air bagi masyarakat. Warga melaporkan bahwa air sungai menjadi keruh dan tidak layak konsumsi, memaksa mereka untuk mencari sumber air alternatif. Selain itu, beberapa santri di pondok pesantren setempat mengalami gatal-gatal setelah menggunakan air sungai, menandakan potensi dampak kesehatan dari pencemaran tersebut. Ribuan Hektare Lahan Eks Tambang Tak Direklamasi di Batanghari Di Kabupaten Batanghari, ribuan hektare lahan bekas tambang batu bara dibiarkan menganga tanpa proses reklamasi. Lahan-lahan ini berubah menjadi danau-danau beracun yang menghancurkan ekosistem dan mengancam keselamatan warga. Kondisi ini menunjukkan kurangnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap perusahaan tambang yang tidak memenuhi kewajiban reklamasi.
Kasus di atas mencerminkan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas dan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas pertambangan di Jambi. Tanpa tindakan nyata, kerusakan lingkungan akan terus berlanjut, mengancam keberlanjutan ekosistem dan kesejahteraan masyarakat setempat. Regulasi pertambangan di Indonesia diatur melalui sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah yang bertujuan mengelola kegiatan pertambangan secara berkelanjutan serta melindungi lingkungan dan masyarakat adalah bentuk nyata dari kelalaian korporasi dalam menjalankan kewajibannya menjaga lingkungan hidup, dan sekaligus cerminan lemahnya penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Kolam limbah yang jebol dan mengalir ke sungai terdekat menimbulkan kerusakan ekologis serta ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat sekitar.
Fakta bahwa lubang tambang tidak direklamasi memperparah situasi, mengindikasikan adanya pelanggaran berlapis, baik terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup maupun Undang-Undang Minerba.
Dalam konteks hukum, tindakan PT BBMM telah memenuhi unsur tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 98 UU PPLH, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan pencemaran lingkungan hidup dapat dikenai pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar.
Ditambah lagi, Pasal 104 UU yang sama menegaskan bahwa setiap pencemaran lingkungan yang disengaja atau karena kelalaian dapat dijerat pidana. Namun ironisnya, hingga saat ini belum ada langkah konkret berupa penetapan tersangka maupun sanksi administratif berat seperti pembekuan atau pencabutan izin lingkungan. Publik menanti komitmen aparat penegak hukum untuk tidak hanya berhenti pada investigasi teknis, tetapi juga masuk ke ranah pertanggungjawaban pidana korporasi dan pejabat pengendali perusahaan. Kejadian ini bukan insiden tunggal.
Ia adalah bagian dari pola berulang di mana perusahaan tambang mengabaikan standar lingkungan, dan negara gagal hadir sebagai pengawas yang tegas. Ketiadaan efek jera menjadi akar dari siklus pelanggaran ini. Sudah waktunya penegakan hukum lingkungan tidak lagi bersifat kosmetik. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), harus segera menjatuhkan sanksi administratif tegas, sementara aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan harus mendorong pertanggungjawaban pidana korporasi.
Selain itu, masyarakat terdampak perlu difasilitasi untuk menggugat secara perdata atas kerugian lingkungan dan sosial yang mereka alami. Penegakan hukum terhadap PT BBMM akan menjadi ujian kredibilitas negara dalam menjalankan prinsip keadilan ekologis. Jika dibiarkan berlalu begitu saja, maka negara tidak hanya gagal menegakkan hukum, tetapi juga telah turut serta dalam membiarkan pencemaran lingkungan hidup terus berlangsung tanpa konsekuensi.
Tinggalkan Balasan